Refleksi sepuluh Tahun Perjalanan UU No. 12 Tahun 2011
Genap sudah UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berusia sepuluh tahun sejak diterbitkan 12 Agustus 2011. Undang-Undang ini menjadi rujukan dalam pembentukan peraturan di berbagai level mulai dari Pusat hingga ke desa-desa. Tahun lalu, DPR dan Pemerintah merevisi sebagian isi Undang-Undang ini, melalui UU No. 15 Tahun 2019. Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menceritakan UU No.12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004. Sebelum UU No.10 Tahun 2004 terbentuk ada berbagai pandangan mengenai bagaimana pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya ada yang ingin menetapkan hierarki perundang-undangan seperti yang diatur TAP MPR No.XX/MPRS/1966. Ada juga yang tidak menginginkan hal itu karena menilai UUD dan TAP MPR tidak masuk kategori peraturan perundang-undangan. Pembentukan UU No.10 Tahun 2004 bergulir setelah dilakukan amandemen UUD. Salah satu hasil amandemen itu memandatkan ketentuan membentuk peraturan perundang-undangan ditetapkan lewat UU. Maria mengingat ada beberapa tokoh yang terlibat dalam pembentukan UU No.10 Tahun 2004 antara lain Bagir Manan dan HAS Natabaya.
Kala itu Maria menjadi pendamping Bagir Manan untuk membahas pembentukan UU No.10 Tahun 2004. Dalam suatu rapat, ada usulan yang memasukan banyak peraturan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Kapolri, Peraturan Panglima TNI dan Rektor Universitas. Maria menolak usulan itu karena berbagai peraturan tersebut tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Alhasil hierarki peraturan perundangan-undangan diatur dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004. Kemudian, Penjelasan pasal 4 mengatur peraturan perundang-undangan juga termasuk peraturan yang dikeluarkan MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, Komisi yang dibentuk UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Menurut Maria ketentuan ini tidak tepat karena peraturan seperti yang diterbitkan MPR, DPR, DPD tidak bisa disebut sebagai peraturan perundang-undangan.
Baca:
- Pandangan Akademisi Hukum Soal Perintah Pembentukan Peraturan Delegasi
- Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU
Perubahan UU No.10 Tahun 2004 menjadi UU No.12 Tahun 2011 memindahkan Penjelasan pasal 4 UU No.10 Tahun 2004 menjadi pasal 8 UU No.12 Tahun 2011. Menurut Maria sedikitnya ada tiga kriteria peraturan perundang-undangan. Pertama, substansinya merupakan norma hukum. Kedua, berlaku keluar. Ketiga, bersifat umum dan mengatur luas bukan hanya orang tertentu tapi semua orang.
“Buat apa peraturan MPR dan DPR dan peraturan lainnya yang mengikat internal harus diundangkan lewat Kementerian Hukum dan HAM? Ini menjadi masalah,” kata Prof Maria dalam webinar bertema Reæeksi 10 Tahun UU No.12 Tahun 2011, Sabtu (14/08).
Maria menekankan peraturan yang diundangkan itu sifatnya harus mengikat keluar. Jika peraturan tersebut sifatnya mengikat internal seperti peraturan menteri, sebaiknya dipikirkan lagi apakah perlu diundangkan lewat Kementerian Hukum dan HAM. Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muhammad Fadli, mengatakan pendelegasian peraturan harus dilakukan secara cermat, jangan sampai membuat semrawut pembangunan peraturan perundang-undangan. Tapi faktanya kerap dijumpai banyak aturan yang tidak sesuai dengan pendelegasiannya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan tehradap pendelegasian peraturan karena harus jelas jenis dan bentuknya. “Misalnya UU memberikan delegasi pembentukan peraturan kepada Menteri (Permen), ini tingkatan hierarkinya terlalu jauh,” ujarnya.
Menurut Fadli pendelegasian kewenangan mengatur yang diberikan UU kepada Menteri, pemimpin lembaga pemerintahan non kementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri hanya dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. Kewenangan yang didelegasikan kepada alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelengara lain kecuali oleh UU yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. “Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada Dirjen, Sekjen, atau pejabat yang setingkat,” urai Fadli.

