Article & Regulation

By MSP Law Firm 16 Aug, 2021
Genap sudah UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berusia sepuluh tahun sejak diterbitkan 12 Agustus 2011. Undang-Undang ini menjadi rujukan dalam pembentukan peraturan di berbagai level mulai dari Pusat hingga ke desa-desa. Tahun lalu, DPR dan Pemerintah merevisi sebagian isi Undang-Undang ini, melalui UU No. 15 Tahun 2019. Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menceritakan UU No.12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004. Sebelum UU No.10 Tahun 2004 terbentuk ada berbagai pandangan mengenai bagaimana pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya ada yang ingin menetapkan hierarki perundang-undangan seperti yang diatur TAP MPR No.XX/MPRS/1966. Ada juga yang tidak menginginkan hal itu karena menilai UUD dan TAP MPR tidak masuk kategori peraturan perundang-undangan. Pembentukan UU No.10 Tahun 2004 bergulir setelah dilakukan amandemen UUD. Salah satu hasil amandemen itu memandatkan ketentuan membentuk peraturan perundang-undangan ditetapkan lewat UU. Maria mengingat ada beberapa tokoh yang terlibat dalam pembentukan UU No.10 Tahun 2004 antara lain Bagir Manan dan HAS Natabaya. Kala itu Maria menjadi pendamping Bagir Manan untuk membahas pembentukan UU No.10 Tahun 2004. Dalam suatu rapat, ada usulan yang memasukan banyak peraturan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Kapolri, Peraturan Panglima TNI dan Rektor Universitas. Maria menolak usulan itu karena berbagai peraturan tersebut tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Alhasil hierarki peraturan perundangan-undangan diatur dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004. Kemudian, Penjelasan pasal 4 mengatur peraturan perundang-undangan juga termasuk peraturan yang dikeluarkan MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, Komisi yang dibentuk UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Menurut Maria ketentuan ini tidak tepat karena peraturan seperti yang diterbitkan MPR, DPR, DPD tidak bisa disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Baca: Pandangan Akademisi Hukum Soal Perintah Pembentukan Peraturan Delegasi Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU Perubahan UU No.10 Tahun 2004 menjadi UU No.12 Tahun 2011 memindahkan Penjelasan pasal 4 UU No.10 Tahun 2004 menjadi pasal 8 UU No.12 Tahun 2011. Menurut Maria sedikitnya ada tiga kriteria peraturan perundang-undangan. Pertama, substansinya merupakan norma hukum. Kedua, berlaku keluar. Ketiga, bersifat umum dan mengatur luas bukan hanya orang tertentu tapi semua orang. “Buat apa peraturan MPR dan DPR dan peraturan lainnya yang mengikat internal harus diundangkan lewat Kementerian Hukum dan HAM? Ini menjadi masalah,” kata Prof Maria dalam webinar bertema Reæeksi 10 Tahun UU No.12 Tahun 2011, Sabtu (14/08). Maria menekankan peraturan yang diundangkan itu sifatnya harus mengikat keluar. Jika peraturan tersebut sifatnya mengikat internal seperti peraturan menteri, sebaiknya dipikirkan lagi apakah perlu diundangkan lewat Kementerian Hukum dan HAM. Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muhammad Fadli, mengatakan pendelegasian peraturan harus dilakukan secara cermat, jangan sampai membuat semrawut pembangunan peraturan perundang-undangan. Tapi faktanya kerap dijumpai banyak aturan yang tidak sesuai dengan pendelegasiannya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan tehradap pendelegasian peraturan karena harus jelas jenis dan bentuknya. “Misalnya UU memberikan delegasi pembentukan peraturan kepada Menteri (Permen), ini tingkatan hierarkinya terlalu jauh,” ujarnya.  Menurut Fadli pendelegasian kewenangan mengatur yang diberikan UU kepada Menteri, pemimpin lembaga pemerintahan non kementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri hanya dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. Kewenangan yang didelegasikan kepada alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelengara lain kecuali oleh UU yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. “Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada Dirjen, Sekjen, atau pejabat yang setingkat,” urai Fadli.
By MSP Law Firm 12 Aug, 2021
Dosen FH UI, Dian Puji Nugraha Simatupang saat diskusi daring bertajuk ‘Akidi Tio, Hoaks, dan Potensi Korupsi Pada Pemberian dan Pengelolaan Hibah’ yang diselenggarakan STHI Jentera, Selasa (10/8/2021). Foto: ADI Kasus sumbangan dana Hibah dari keluarga (alm) Akidi Tio yang rencananya akan digunakan untuk membantu pemerintah Go to... menangani Covid-19 di Sumatera Selatan berujung polemik. Ternyata bilyet giro yang diberikan sebesar Rp2 triliun tak dapat dicairkan. Aparat kepolisian telah memeriksa sejumlah pihak terkait dalam kasus tersebut. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dian Puji Nugraha Simatupang, mengatakan pemerintah bisa menerima sumbangan dana hibah dari masyarakat. Tapi, semua penerimaan dan pengeluaran itu harus menggunakan mekanisme APBN. “Dana yang masuk atau keluar baik ke atau dari rekening negara dan kas negara harus melalui prosedur yang taat aturan dan patut,” kata Dian Puji dalam diskusi secara daring bertema “Akidi Tio, Hoaks, dan Potensi Korupsi Pada Pemberian dan Pengelolaan Hibah” yang diselenggarakan STHI Jentera, Selasa (10/8/2021). Dian mengatakan mekanisme penerimaan dana hibah dari masyarakat oleh pemerintah telah diatur dalam berbagai regulasi seperti UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; PP No.71 Tahun 2010 tentang Standa Akuntansi Pemerintahan; PP No.10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah; Peraturan Menteri Keuangan No.99 Tahun 2017 tentang Administrasi Penerimaan Hibah. PP No.10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah mengatur hibah pemerintah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Selain itu, hibah kepada pemerintah harus melalui mekanisme dan sebagai bagian dari APBN. Sekalipun hibah itu diberikan untuk menanggulangi bencana sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf b Permenkeu No.99 Tahun 2017. Dian menjelaskan hibah yang dilakukan warga yang langsung diserahkan merupakan hibah langsung dari dalam negeri berupa perorangan, yang penarikannya dilakukan melalui kementerian/lembaga. Sebelum menerima hibah yang bersangkutan, pihak penerima harus mengkonsultasikannya kepada Menteri cq keuangan Kanwil Ditjen Perbendaharaan Negara setempat. “Yang perlu dilakukan pertama kali jangan langsung publikasi, tapi mengkonsultasikan dulu rencana pemberian sumbangan hibah itu kepada Menkeu cq Kanwil Ditjen Perbendaharaan,” ujar Dian menjelaskan. Konsultasi itu merupakan prosedur yang harus dilakukan. Konsultasi ini penting untuk menjelaskan proål pihak pemberi hibah karena negara tidak boleh menerima dana dari proses yang tidak halal. Setelah konsultasi dilakukan asesment agar ada keyakinan memadai bahwa hibah yang nanti diterima memenuhi alas hukum dan alas fakta. Setelah memenuhi kualiåkasi syarat kepatutan, kemudian dapat diajukan registrasi hibah; lampiran surat pengesahan hibah langsung; nomor registrasi dan nomor rekening penampungan hibah yang diberi izin Menteri Keuangan. “Karena ini menyangkut reputasi pemerintah, jangan sampai reputasi ini jatuh karena (sumbangan dana hibah, red) khayalan. Tidak boleh juga menerima dana yang tidak halal, harus berasal dari pendapatan yang sah,” tegasnya. Dalam kasus Akidi Tio ini, Dian menilai sedikitnya ada 3 pelajaran yang perlu dicermati dalam konteks keuangan publik. Pertama, pimpinan kementerian/lembaga/daerah harus menyadari keuangan negara/keuangan daerah mempunyai sistem dalam penerimaan/pengeluaran yaitu mekanisme satu pintu melalui APBN atau APBD. Kedua , penerimaan keuangan yang bersumber dari negara, warga masyarakat, badan hukum, negara lain, atau pihak manapun untuk diserahkan kepada pemerintah harus menggunakan mekanisme dan prosedur APBN. “Tidak boleh menggunakan inisiatif rekening, kas, sistem, buku, atau apapun yang non-APBN,” tegasnya. Ketiga , kalau untuk pemerintah, perlu assesment atas kepatuhan dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan. Negara dilarang menerima sesuatu dari transaksi yang tidak halal, syarat causa halal harus tercapai melalui konsep yang patut, dan cermat, serta hati-hati. Dian mengingatkan kecermatan dan kepatutan dalam penerimaan dan pengeluaran uang negara merupakan kewajiban. Jika hal tersebut tidak dilakukan dapat dianggap sebagai penyimpangan kebijakan APBN/APBD yang dapat dipidana sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 34 ayat (1) UU Keuangan Negara menyebutkan “Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.” Menurutnya, penerimaan dan pengeluaran negara dilarang tergesa-gesa, harus prosedural, dan memenuhi kepatutan. Paling utama, penerimaan kepada negara adalah milik negara, berdasarkan inisiatif negara, bukan milik atau inisiatif, atau menjadi prestasi seseorang. “Karena harus didasarkan pada sistem dan mekanisme APBN, semuanya menjadi prestasi kinerja negara,” katanya. Akademisi FH Binus University, Vidya Prahassacita, melihat kasus ini dikaitkan dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua pasal tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang “penyebaran berita bohong.” Tapi dalam kedua pasal itu memuat unsur menimbulkan keonaran di masyarakat atau menimbulkan kerusuhan. Meskipun Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 itu dinilai tidak dapat digunakan/diterapkan dalam kasus Akidi Tio, tapi Vidya menilai aturan ini rawan disalahgunakan penguasa. “Pasal ini sejak awal (masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, red) digunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi di wilayah jajahannya. Ketentuan tersebut juga rawan multi interpretasi yang arahnya melanggar kebebasan berekspresi.” Seperti diketahui, rencana sumbangan dana hibah senilai Rp 2 Triliun dari anak pengusaha Akidi Tio (Alm) menjadi perbincangan. Terutama setelah penyidik Polda Sumatera Selatan meminta keterangan lima orang yakni anak Akidi Tio, Heryanti; dokter pribadi keluarga dr. Hardi Darmawan; dan kerabat yang mengetahui perkara ini, Senin-Selasa (2-3/8/2021) lalu. Sebab, ramai diberitakan sumbangan sebesar Rp2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan berupa bilyet giro telah jatuh tempo, gagal cair atau tidak bisa dicairkan secara penuh. Sebelumnya, Heryanti telah melakukan seremonial secara simbolis serah terima sumbangan hibah itu bersama Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri disaksikan Gubernur Sumatera Selatan, dan pejabat daerah lain pada 26 Juli 2021 lalu. Kemudian, Heryanti sempat diberitakan potensi ditetapkan sebagai tersangka dan bisa dijerat Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.  Tapi kemudian, pihak kepolisian menegaskan belum menetapkan siapapun menjadi tersangka dalam kasus ini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) turut melakukan pemeriksaan, khususnya terhadap kejelasan bilyet giro yang dimaksud. Nantinya, laporan hasil analisis terkait donasi Rp2 triliun dari keluarga Akidi Tio ini diserahkan kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Sumatera Selatan.
By MSP Law Firm 09 Aug, 2021
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan soal perjalanan dinas pegawainya dapat ditanggung oleh panitia penyelenggara berdasarkan Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021. Hal ini tak lepas dari peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) per 1 Juni 2020. Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, dengan beralihnya status kepegawaian KPK menjadi ASN per 1 Juni 2021, KPK perlu melakukan berbagai harmonisasi aturan yang berlaku secara umum di ASN, salah satunya terkait dengan perjalanan dinas. KPK pun menerbitkan Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi tertanggal 30 Juli 2021. “Dalam perpim (peraturan pimpinan) dimaksud, disebutkan antara lain perjalanan dinas dalam rangka untuk mengikuti rapat, seminar, dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara. Perlu kami sampaikan, bilamana pegawai KPK menjadi narasumber untuk menjalankan tugas-tugas KPK juga tidak diperkenankan menerima honor,” kata Ali dalam keterangannya, Minggu (8/8). Meski demikian, lanjut dia, dalam hal panitia penyelenggara tidak menanggung biayanya maka biaya perjalanan dinas tersebut dibebankan pada anggaran KPK dengan memperhatikan tidak adanya pembiayaan ganda. Hal tersebut sebagaimana isi Pasal 2A perpim tersebut. 1) Pelaksanaan perjalanan dinas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengikuti rapat, seminar, dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara. 2) Dalam hal panitia penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menanggung biayanya maka biaya perjalanan dinas tersebut dibebankan pada anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi dan dengan memperhatikan tidak adanya pembiayaan ganda. Ali mengatakan sistem perjalanan dinas KPK kini bisa mengakomodasi adanya pembiayaan kegiatan bersama yang dibebankan antarlingkup ASN, yakni dengan kementerian maupun lembaga. “Dalam kegiatan bersama, KPK bisa menanggung biaya perjalanan dinas pihak terkait dan sebaliknya. Peraturan ini tidak berlaku untuk kerja sama dengan pihak swasta,” ungkap Ali. Ia juga menegaskan bahwa biaya perjalanan dinas merupakan biaya operasional kegiatan bukan gratiåkasi apalagi suap. “Sharing pembiayaan ini mendorong agar pelaksanaan program kegiatan tidak terkendala karena ketidaktersediaan anggaran pada salah satu pihak. Padahal, program tersebut sangat penting untuk tetap bisa dilakukan secara optimal. Penting juga dipastikan tidak adanya pembiayaan ganda dalam kegiatan bersama tersebut,” tuturnya. Kendati demikian, kata Ali, untuk mengantisipasi timbulnya kepentingan pada penanganan suatu perkara, kegiatan pada bidang penindakan tetap menggunakan anggaran KPK. Ia menyatakan bahwa pegawai KPK dalam pelaksanakan tugasnya tetap berpedoman pada kode etik pegawai dengan pengawasan ketat oleh dewan pengawas dan inspektorat untuk menolak gratiåkasi dan menghindari konæik kepentingan. “Kami mengajak masyarakat untuk turut mengawasi penggunaan anggaran negara agar terus taat terhadap aturan dan mengedepankan ketepatan sasaran serta manfaatnya,” ujar Ali.

We look forward to serving you!

Call or email us to get in touch. 

TALK TO OUR ATTORNEY
Share by: